Ilustrasi perdagangan orang. Foto : Pixabay.com |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
NEUMEDIA.ID, MADIUN – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang masih terjadi hingga
kini semakin mengkhawatirkan. Bahkan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM
(Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakannya sudah pada level darurat.
“Sangat darurat,” ujar dia saat
berkunjung di Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),
awal Juni lalu.
Menurut dia, kondisi ini ditandai dengan
telah dipulangkannya 1.900 jenazah pekerja migran Indonesia (PMI), korban TPPO sejak
2020 hingga 2022. Dari para korban itu, mayoritas berasal dari NTT.
Dari jumlah korban TPPO yang lebih
dari seribu dalam kurun waktu tiga tahun, Mahfud menyatakan adanya sindikat dalam
perbudakan modern ini. Penerbitan paspor bagi para korban kebanyakan dari luar
NTT menjadi salah satu hal yang dicurigai Mahfud.
“NTT ini daerah yang paling banyak
TPPO-nya. Menurut catatan, setiap tahun tidak kurang dari warga NTT yang pulang
dari luar negeri sudah menjadi mayat, karena diperjualbelikan sebagai budak
oleh mafia perdagangan orang ini,” Mahfud menjelaskan.
Dalam kajiannya, Pusat Penelitian dan
Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi RI, menjelaskan
TPPO merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan. Ini termasuk dalam kejahatan
transnasional dan terorganisasi, serta mengancam kehidupan sosial, politik, ekonomi,
keamanan dan perdamaian dunia.
TPPO berkembang karena dianggap
menjadi bisnis menguntungkan bagi para pelaku. Belum lagi, berdasarkan data
International Organization Migration (IOM), Indonesia tidak hanya sebagai
daerah asal kejahatan maupun transit. Namun, juga menjadi daerah tujuan dan
beroperasinya kejahatan tersebut.
Keadaan ini diperparah dengan tingkat
sosial ekonomi masyarakat yang rendah. Migrant Care menyatakan bahwa penyebab
terjadinya TPPO adalah tingginya angka kemsikinan, terbatasnya lapangan kerja,
tingginya angka pengangguran, dan rendahnya tingkat pendidikan.
Faktor lainnya adalah kurangnya
pengetahuan dan informasi tentang cara-cara bekerja keluar negeri. Kemudian,
gaya hidup yang konsumtif para PMI. Dengan demikian, mereka rentan terhadap
bujukan dan rayuan para calo tenaga kerja dan terjerat TPPO. Kemudian, dinilai
menyebabkan PMI terutama perempuan dan anak terjebak dalam lilitan hutang.
Alasan lainnya, masih kuatnya budaya
patriarki yang berujung pada ketidakadilan gender juga dapat memicu terjadinya TPPO.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan bahwa untuk mencegah TPPO dibutuhkan
komitmen dari aparat penyelenggara negara.
Apalagi, sudah diketahui modus
operandi penempatan ilegal PMI secara konvensional. Ini seperti, calo turun
langsung ke masyarakat guna menawarkan pekerjaan. Lantas, diiming – imingi gaji
tinggi, cepat berangkat dan ditanggung semua biaya.
Juga ada modus propaganda media
sosial, yaitu korban mendapat info peluang kerja dari media sosial.Selain itu, dengan modus lembaga
pelatihan kerja yang memiliki peran ganda. Selain menyelenggarakan pelatihan,
lembaga itu juga menempatkan PMI secara ilegal. “Ini juga tentu membutuhkan
tindakan tegas,” tegas Benny. (*/ofi)
Berbagai Sumber