Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa resmi menyatakan dukungan untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran. Khofifah bahkan menempati jabatan Dewan Pengarah dan Juru Kampanye Nasional (Jurkamnas). Dukungan politik ini membuat konstestasi Pilpres 2024 semakin menarik. Dukungan Khofifah jelas akan memboosting elektabilitas Prabowo-Gibran di Jawa Timur, yang selama ini menjadi medan pertarungan terbuka sekaligus menentukan potensi kemenangan Pilpres mendatang.
Salah satu simpul kekuatan politik Jawa, khususnya Jawa Timur, adalah basis pemilih Nahdliyyin. Dukungan Khofifah pada Prabowo-Gibran akan membantu mengonsolidasikan simpul-simpul kekuatan politik Nahdliyyin untuk mempertebal kekuatan elektoral Prabowo-Gibran di Jawa Timur.
Khofifah akan membukakan pintu lebar-lebar bagi timses Prabowo-Gibran untuk penetrasi lebih efektif ke basis-basis pesantren, yang meskipun loyalitas politik terhadap kiai tidak sekuat dulu, tapi kampanye di jaringan pesantren tetap dibutuhkan untuk megoptimalkan penguasaan massa riil berbasis santri, alumni pesantren, hingga orang tua santri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dukungan Khofifah kepada Prabowo-Gibran akan merepotkan mesin politik PKB di kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), yang saat ini menggantungkan mesin politiknya pada jaringan pesantren dan masyarakat Nahdliyyin. Tekanan terhadap mesin politik PKB di basis NU juga semakin kuat, ketika elit pengurus PBNU sendiri dirasa tidak sejalan dengan kepentingan politik pencawapresan Cak Imin.
Saat ini, basis elektabilitas Prabowo-Gibran di Jawa Timur memang relatif cukup kompetitif, karena ditopang oleh mesin politik yang kuat di Jatim, dimana Gerindra, Demorkat, Golkar merupakan aktor-aktor kuat di Jatim. Sementara itu, mesin politik Gerindra Jatim sendiri lebih banyak dijalankan oleh jaringan mantan politisi PKB yang dulu memisahkan diri (mufaroqoh) ketika terjadi konflik internal di PKB. Karena itu bisa dipahami mengapa cukup banyak pesantren di wilayah Tapal Kuda, Mataraman dan Arek yang saat ini mendukung Prabowo-Gibran.
Sementara itu, dua mesin politik yang selama ini mendominasi Jatim, yakni PDIP dan PKB sebagai representasi kekuatan politik abangan dan santri, saat ini terpecah di dua gerbong koalisi yang berbeda. Namun demikian, konstalasi politik Jawa Timur masih dinamis. Momentum 1,5 bulan ke depan bisa dimanfaatkan oleh masing-masing Paslon utk mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Mengingat Jatim adalah battle field terbuka dalam Pilpres. Maka jika ada Paslon bisa menggabungkan mayoritas jaringan politik nasionalis dan politik santri di Jatim, besar kemungkinan paslon itu akan memenangkan kontestasi Pilpres di tingkat nasional.
Di sisi lain, suasana HUT PDIP 2024 kali ini berbeda dengan kegiatan-kegiatan PDIP sebelum-sebelumnya. Suasana kebatinan dalam kegiatan hari ini terkesan kelabu, agak tegang, dan pidato Megawati kali ini juga sangat berbeda dari pidato-pidato sebelumnya yang selama ini tampil ceria dan bersemangat.
Selain menjelaskan tentang nilai-nilai dan filosofi kebenaran dalam laku kekuasaan, materi pidato Megawati kali ini juga cukup banyak diisi dengan materi-materi curhat dan keluh kesah.
Meskipun sama sekali tidak menyebut nama Jokowi, namun materi-materi pidato Megawati sebenarnya berisi sentilan dan pukulan politik yang dialamatkan pada pribadi Jokowi. Misalnya, ketika Mega menjelaskan bahwa penentu capres-cawapres adalah parpol, bukan yang lain. Mega jelas sedang menyinggung Jokowi yang telah menggunakan kekuasaan untuk mengutak-atik, cawe-cawe, hingga melemahkan kedaulatan partai-partai politik. Selain itu, penjelasan Mega yang memberikan tugas kepada capres-cawapres juga tampaknya ditujukan sebagai klarifikasi tentang konsep “petugas partai” yang belakangan ‘digugat’ Jokowi.
Hal itu dikonfirmasi oleh tudingan-tudingan Mega yang protes pada praktik kekuasaan dimana hukum dipermainkan, kekuasaan digunakan secara sewenang-wenang, hingga melanggar etika dan moral politik untuk melanggengkan kekuasaan. Mega juga mencoba memukul perilaku kekuasaan saat ini dengan menggunakan ekspresi keras “No, no, no!” yang ia ulang tiga kali.
Ekspresi keras Megawati itu mengindikasikan “banteng ketaton” atau “banteng yang terluka”, yang siap ngamuk kepada pihak yang melukainya. Statement Megawati ini tampaknya menjadi penegasan titik pisah antara PDIP dengan Jokowi.
Pidato Megawati kali ini juga menegaskan bahwa PDIP secara resmi telah memainkan peran kekuatan oposisi. Megawati lagi-lagi menuding terjadinya praktik kekuasaan saat ini yang mirip Orde Baru, sebuah kekuatan politik yang menjadi musuh bebuyutan dalam sejarah perkembangan PDIP dan karir politik Megawati. Praktik kekuasaan mirip Orba ia contohkan dengan adanya intimidasi jelang Pemilu, lemahnya penyelenggara Pemilu, netralitas TNI, Polri, praktik politik pecah belah, dan lainnya.
Untuk mengokohkan sikap politiknya itu, Megawati mencoba merangkul kekuatan masyarakat sipil, mahasiswa, dan pekerja media, yang praktis relatif jarang dilakukan selama 9 tahun terakhir ketika berkuasa.
Uniknya, meskipun Megawati protes keras terhadap praktik kekuasaan saat ini, Megawati tetap memilih untuk mengambil sikap aman dan tidak bersikap tegas, misalnya dengan keluar dari pemerintahan Jokowi, menarik semua kader PDIP dari semua pos menteri, hingga bahkan memecat Jokowi dari PDIP itu sendiri.
*Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina; Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC)