ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Siap kalah dan siap menang! Kalimat itu senantiasa menggema di tengah hiruk pikuk pemilihan umum (pemilu) presiden, kepala daerah maupun legislatif selama ini. Kemungkinan demikian halnya ketika mendekati pesta demokrasi yang berlangsung serentak pada 2024 mendatang.
Kalimat itu laksana mantra sakti. Lafaznya diulang-ulang setiap lima tahun di depan penyelenggara pemilu. Namun nyatanya, masih ada saja pihak yang kalah tidak siap menerima kemenangan kontestan lain. Beragam cara dilakukan. Berbagai jalan ditempuh untuk menggagalkan hasil kompetisi politik lima tahunan.
Indikatornya, setiap kubu yang berlaga siap menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) ketika jagoannya mengantongi jumlah suara lebih sedikit dibanding rivalnya. Maka, dengan 1001 alasan tidak membiarkan lawan meraih kemenangan dengan mudah.
Memang, langkah hukum dibenarkan dan dilindungi Undang-Undang. Hanya saja, tahap ini seringkali dibarengi dengan cara menjatuhkan lawan dengan cara kurang bijak. Kekurangan lawan, bahkan masalah personal yang belum terjamin kebenarannya diumbar ke publik. Informasi bohong dan ujaran kebencian berbau SARA disebar secara bertubi melalui media massa maupun media sosial.
Belum lagi dengan munculnya isu penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu serentak 2024. Rumor itu muncul setelah dilayangkannya gugatan oleh enam pemohon ke MK. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan.
Kemudian, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Hingga kini, proses persidangan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2027 tentang Pemilu itu masih berlangsung.
Situs electoral-reform.org mempublikasikan sistem proporsional tertutup adalah penentuan seorang kandidat yang sesuai dengan posisi tertentu bukan dari jumlah suara masing-masing individu. Tetapi, dari perolehan suara terhadap partai politik.
Dengan kata lain, suara yang diberikan untuk suatu partai bukan langsung ke calon legislatif. Maka, ketika partai politik mengusung enam nama dan memperoleh dua suara, dua orang di urutan atas akan mengambil kursi. Selain sistem pemilu, sebelumnya juga menggema tentang penundaan pelaksanaan Pemilu dan tiga kali masa jabatan presiden.
Khalayak pun dibuat bingung. Tak sedikit yang akhirnya pesimistis dengan pemilu. “Selama ini, siapa saja yang jadi (presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, anggota DPR mulai pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan DPD) nasib saya tetap seperti ini. Tidak berubah,” begitu ungkapan hati sebagian kalangan.
Jika mereka yang pesimistis ini masih menyalurkan suaranya, maka bisa dikatakan untung. Hanya saja, pertimbangannya dalam memilih bukan karena kualitas. Biasa jadi karena popularitas, nama besar keluarga, kekayaan, maupun paras nan rupawan.
Apalagi, sejumlah kalangan artis yang sudah memiliki modal popularitas ikut menjadi kontestan pemilu. Anak dari politisi, pejabat publik maupun pengusaha kaya juga tak mau kalah. Mereka ikut berlaga meski kualitas menjadi pemimpin maupun legislator belum teruji.
Lantas, saat berhasil memenangi pemilu dan menduduki jabatan politik, bagaimana mereka menjadi pemimpin atau pengayom masyarakat? Apakah masih melakukan uji coba untuk mengambil kebijakan? Kemudian, ketika tidak cocok akan direvisi dalam waktu singkat? Rakyat jadi percobaan? Atau semua bisa diatur sesuai petunjuk penguasa (oligarki) yang memprioritaskan kelompoknya?
Bila itu yang terjadi, maka sandaran harapan rakyat pada pemimpin maupun legislator menjadi rapuh. Saat itu, yang populer semakin terkenal. Si kaya kian tajir melintir. Yang miskin mencari jalan sendiri untuk bertahan hidup atau survival. Apakah keadaan ini akan terus berlarut? Tentu saja tidak. Ini selama kita bersama terus bergerak mengubah keadaan.
Pendidikan politik yang memprioritaskan persatuan dan kesatuan bangsa perlu terus digaungkan. Semua elemen dapat terlibat, mulai dari lingkungan keluarga sebagai komunitas terkecil hingga masyarakat secara luas.
Memang tidak mudah di tengah dominasi kepentingan suatu kelompok tertentu. Yang dulu berkoar-koar menentang penguasa seakan kehilangan taring. Reformasi yang sudah genap berusia 25 tahun ternyata masih menjadi catatan suram meski rezim telah berganti-ganti.
Namun demikian, harapan masih membentang. Kelompok-kelompok masyarakat sipil tetap bergerak dengan caranya masing-masing. Kekuatan terus disusun dan semakin membesar. Bila telah tiba waktunya, kondisi demokrasi semakin baik. Taraf hidup masyarakat akan meningkat.
Nofika D. Nugroho
Pemimpin Redaksi Neumedia.id