![]() |
Suasana kegiatan belajar mengajar di Ponpes Al-Zaytun, Indramayu,Jawa Barat. Foto : instagram.com/setyo.masyo |
NEUMEDIA.ID
– Polemik di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat menuai
reaksi dari kelompok masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kali ini, SETARA
Institute mendesak pemerintah melakukan investigasi yang komprehensif. SETARA Institute merupakan organisasi
masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman, solidaritas, dan martabat
manusia.
Desakan itu agar
langkah pemerintah didasari dengan bukti-bukti faktual dan berlandaskan pada
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Respons
pemerintah seyogyanya diorentasikan pada pengungkapan kebenaran, perlindungan
keamanan warga negara, negara, serta penegakan hukum,” kata Direktur Eksekutif
SETARA Institute, Halili Hasan dalam keterangannya yang dikutip Neumedia.id, Senin, 26 Juni 2023.
Menurut dia,
langkah pemerintah itu perlu segera dilakukan. Sebab, polemik terkait dengan Ponpes
Al-Zaytun sudah lama terjadi dan kembali berulang sejak 1994.
Polemik itu
seperti tentang munculnya pandangan dan kajian yang mengaitkan antara Al-Zaytun
dengan Negara Islam Indonesia (NII). Eksistensi
Al-Zaytun yang kokoh hingga kini juga banyak dikaitkan oleh publik dengan
‘bekingan’ intelijen dan militer.
Studi Human
Security dan Security Sector Reform SETARA Institute mencatat, pada Pemilu 2004
kendaraan TNI bergerak dan melakukan mobilisasi massa guna melakukan
pencoblosan di Kompleks Ponpes Al Zaytun.
Dalam konteks
itu, investigasi yang komprehensif akan menjamin terpenuhinya hak publik untuk
mengetahui dan mendapat kebenaran atau right
to know and to truth.
Kedua, dalam
pandangan SETARA Institute, pemerintah juga mesti bertindak adil. Pintu masuk
yang paling strategis untuk mewujudkan keadilan dalam polemik Al Zaytun adalah berkenaan
dengan afiliasi pimpinan dan sistem Al Zaytun dengan NII.
Juga,
pelanggaran-pelanggaran pidana yang dilakukan oleh entitas di dalam Al Zaytun,
baik oleh individu maupun badan Al Zaytun sebagai Lembaga Pendidikan. Tindakan
negara tidak boleh sekadar untuk memenuhi keinginan dan tuntutan massa.
Ketiga, Pemerintah hendaknya tidak
masuk terlalu dalam pada polemik sesat tidak sesatnya pandangan dan ajaran
keagamaan yang dikembangkan disana dan kemungkinan mengambil langkah populis
yang berangkat dari penghukuman sesat tersebut.
Mengenai sesat
tidaknya pandangan dan ajaran keagamaan biarlah menjadi domain perdebatan
tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga keagamaan terkait. “Sebagaimana dalam
kasus-kasus berdimensi keagamaan lainnya, pemerintah tidak boleh meletakkan
hukum negara di bawah pandangan dan fatwa lembaga keagamaan tertentu,” lanjut
Halili.
Keempat, SETARA
Institute mengingatkan bahwa polemik Al Zaytun juga berkenaan dengan hak-hak
atas pendidikan serta hak-hak atas perlindungan diri, integritas, dan keamanan
warga negara di dalamnya, terutama 7000-an santri dan peserta didik di sana.
Mitigasi dampak
dan asesmen kebutuhan harus dilakukan oleh pemerintah, bersamaan dengan
investigasi komprehensif dan adil tersebut. (*/ofi)